Oh hai.. Mari belajar...
Belajar tanganmu menggenggam tanganku, belajar mengerti apa yang ada diotakku, belajar menikmati bagaimana menjadi aku..
Kamu akan terkejut mengetaui tentang aku.
Kamu akan begitu menyukainya :)

Selasa, 02 Agustus 2011

Pasrah...

Pasrah itu kata yang cukup keren kedengarannya. Ga kampungan, ga sok kebarat-baratan juga.

Contohnya nih :
" aku pasrah berserah pada yang kuasa, aku telah pasrah, tidak lagi ada rasa resah dan berkeluh kesah. Aku pasrah dan biarkan semua berubah, agar sedih ini tidak lagi betah, agar getah pedih ini segera luluh lantah. Apakah itu mudah atau malah susah, aku pasrah. Walau dia tidak membela malah mencari celah disela-sela yang terlalu lelah untuk marah, aku telah pasrah. Ah sudah, biarlah, terserah, mau aku salah, ataupun aku kalah karena mengalah, mau bumi terbelah dan jiwa tidak rela serta gelisah karena tidak seperti yang dikira, aku coba pasrah, coba terima begitu saja apa yang kupunya pada yang kuasa, selama aku bisa, selama darah ini merah, selama tanah bisa basah, biarlah orang mau bicara apa, inilah adanya, aku pasrah pada masalah ( ini kalimat makin kacau dan dipaksakan. Aku jadi resah dan gelisah. Tadinya aku mau masukin kata gerah, tapiiii dibagian mana yah yang cocoknya? *jadi pusing sendiri* :p)

Apaaa sih lo astriiiid!!

Ah, sudahlah.. Yang pasti kata pasrah ini lagi keren-kerennya bercokol diotak cerdasku. Dan pasrah kemudian mempunyai pengertian yang sangat menyentuh...

Bagaimana pula jika dipraktekkan? Kenyataannya, si pasrah ini tidak begitu gampang ditindaklanjuti. Malah tergolong dalam jenis yang sulit dilakukan.

Tapi semua manusia didunia ini pasti setuju ( awas aja kalo lo ga setuju, lo bukan manusia!! ), jika pasrah itu disimpan dalam hati lalu dipergunakan sebaik-baiknya, hati kemudian jadi tenang dan kita akan beruntung.

Sama seperti yang sedang aku lakukan sekarang. Booo, awalnya aku ga nerima, berasa dibuang, ditolak, ditidakpedulikan (bahasa apa ini, nona astrid?!).

Sempat beberapa kali merasa tidak pantas, selalu salah dan kemudian berakibat pada membenci diri sendiri.

Kemudian aku coba bangkit! Coba melawan pada ketidakberdayaanku dan kemudian menyerahkan semua pada Tuhan. Itulah pasrah yang kumaksud.

Dimana kamu serahkan segala masalah dan kuatirmu pada Tuhan, namun tidak serta merta kamu diam, duduk-duduk menunggu semuanya kembali baik. Kamu harus berjuang pada prosesnya, nanti hasil jadi bagian Tuhan. Dan teman, hasil itulah yang menjadi bagiannya si pasrah.

Susah melawan kedaginganmu lalu mencoba untuk pasrah. Ga mudah, malah tergolong tipe yang rumit.

Bagaimana tidak, disuatu ketika kamu disuruh memperjuangkan sesuatu, lalu memasrahkan hasilnya pada Tuhan. Bisa saja yang kamu mau tidak sesuai ingin Tuhan, yang kamu minta tidak sesuai kebutuhanmu. Disinilah pasrah berperan.

Saat semua tidak sesuai inginmu, yang bahasa kerennya bisa disebut "out of control", kamu hanya diberi pilihan untuk pasrah.

Kalau kamu melawan, kamu yang sakit. Kamu melawan, kamu akan hancur.
Kalau kamu tidak melawan? Awalnya pasti tidak masuk akal, tidak bisa kamu terima.

Kamu tau apalagi kebiasaan baru yang kulakukan selain mencoba pasrah? Ya, mengelus dada :)

Jadi, tiap aku ingat perbuatannya yang menyakitkan, aku akan menarik napas dan mengelus dada.
Tiap aku ingat apa kata-kata terakhirnya dan aku membenarkan semua kebodohanku, aku mengelus dada. Ini dalam artian sebenarnya.

Saat tiba-tiba terlintas diotakku kemungkinan yang terjadi hari ini, yang pastinya membuat aku cemburu, aku mengelus dada.
Dan saat aku kangen dia, saat timbul lagi rasa cinta itu, saat penyesalan menusuk, saat kekecewaan meraja, aku mengelus dada.

Ternyata itu sedikit ampuh daripada mengetok kepalamu sendiri tiap kamu mengingat itu :p

Aku menarik napas panjang, memejamkan mata, mengelus dada lalu mencoba tersenyum.

Kenapa tersenyum? Karena dari beberapa artikel yang kubaca, walau kamu sedang tersakiti dan menangis, saat kamu tersenyum, ada sebagian ( dan itu banyak ) saraf di sekitar wajah dan otakmu yang mengalirkan energi positif.

Ya, energi positiflah yang akan membawamu pada kedamaian.

Bukan uang, bukan debit card tanpa nominal, bukan kemewahan, bukan kenikmatan duniawi. Namun kepasrahanmu untuk menerima energi positiflah yang membentuknya.

Ketidakmauan untuk bangkit dan sikap keraslah yang membuatmu terperosok lebih dalam. Bukan masalahnya yang membuat kamu ingin mati, namun ketidakmauanmu yang menghambatnya.

Kenapa tidak aku katakan ketidaksanggupan? Karena sebenarnya kita semua sanggup, mampu dan bisa melewati masalah yang kita hadapi. Tetapi cara dan keinginanlah yang kemudian menentukan cepat atau lambatnya masalah itu hilang dan terselesaikan.

Sama sepertiku beberapa hari lalu.
Aku sanggup melupakan dia. Aku mampu berjalan tanpanya, dan heiiii, tentu saja aku bisa hidup tanpanya -,-

Tetapi aku tidak mau! Aku tidak ingin! Dan aku tidak berniat mencoba!
Aku masih suka berenang dikenangan kami. Aku masih saja menghapal apa yang selalu kami lakukan dan ciptakan.
Aku masih saja dengan percaya dirinya mencari-cari ingatan tentang saat kami tertawa, menangis, bertengkar, bermusuhan, baikan, tertawa lagi, dan seterusnya.
Aku masih memegang teguh janji-janji yang kami buat.
Aku dengan seenak udel tidak mau melepaskan masa lalu itu.

Kemudian apa yang terjadi?
Aku tidak bangkit. Aku malas berjalan kemasa depan. Aku terlalu lelah mencari jalan keluar.

Ah, bodohnya.

Tadi pagi-pagi sekali aku berjanji untuk keluar dari ini. Dia saja sudah mampu berdiri, kenapa aku masih saja duduk-duduk manis?!
Dia saja tidak sudi mengingat-ingat betapa indahnya kami saat bersama, tidak memprcayai lagi janji-janji yang pernah kami buat, tidak peduli lagi pada impian-impian yang kami ciptakan, dan tidak menganggap penting masa depan yang kami rencanakan, lalu kenapa aku yang repot-repot mengasihani diriku?
Ini tidak adil khan?!

Aku kemudian berjanji untuk keras pada diri sendiri. Ingat pepatah yang mengatakan : "saat kamu keras pada dunia, dunia yang akan melembut padamu." ?

Masalahnya teman-teman berbagai bangsa, berbagai tanah air, berbagai bahasa, ini sangat tidaaaak mudah dilakukan.

Aku melawan. Bicara soal keras, yeah, aku anak yang keras. Tetapi kekerasankepalaku tidak pada tempatnya. Aku berkeras untuk tetap tinggal dikubangan malapetaka itu. Aku bersikeras memaksa Tuhan untuk mericek kejadian ini, mungkin Tuhan salah, mungkin Tuhan bercanda, dan mungkin-mungkin yang lain.

Aku takut, seandainya aku melepaskannya, dia malah datang. Seandainya aku bangkit, dia malah mau kembali. Walau ini tampak mustahil, aku masih saja berdamai dengan kemungkinan dan andai-andai yang terlalu naif.

Ini tidak mudah yah?
Ya itu tadi, kembali lagi pada sifat pasrah yang harus ditanamkan pada diri sendiri.
Keraskan hatimu, mengelus dadalah, tersenyum lalu berpasrah pada Tuhan.
Kalimat itu yang sedang in-in-nya aku ajari keotak dan hatiku.

Semoga aku berhasil.
Doakan agar ini cepat berlalu dan aku lulus ujian lalu naik ke grade selanjutnya.
Sukur-sukur kalau grade berikutnya adalah jenjang terakhir. Dimana saat itulah aku ketemu sisoulmate sehingga aku ga perlu lagi mengalami saat-saat seperti ini.

Saat itu akan tiba, mari doakan astrid agar ini tiba dengan cepat dan astrid kuat menjalaninya sehingga dia semakin dewasa dan handal.

Huft, si astrid ini memang merepotkan. Suka banget memaksa orang mendoakannya dan menulis kalimat bertele-tele.
Suatu saat, jika aku bertemu si astrid, aku akan mengajarinya kurikulum baru. Mungkin salah satunya adalah bagaimana si astrid bisa jadi istri ibu serta manusia yang baik bagi suami, anak-anak, dan lingkungannya :p

#prayforastrid

Oh Yeah.. (•‾⌣‾•)♉

Tidak ada komentar:

Posting Komentar