Oh hai.. Mari belajar...
Belajar tanganmu menggenggam tanganku, belajar mengerti apa yang ada diotakku, belajar menikmati bagaimana menjadi aku..
Kamu akan terkejut mengetaui tentang aku.
Kamu akan begitu menyukainya :)

Jumat, 21 Oktober 2011

Mantanku, Sahabatku...

Berikut merupakan salah satu dari banyak kejadian yang membuat aku meluangkan waktu untuk berpikir tentang orang lain. Sebuah cerita yang terbentuk dari tangis lirih seorang sahabat yang sebetulnya sangat disayangkan mampu bersedih untuk masalah yang sebaiknya tidak perlu jadi masalah dalam sebuah hubungan.

Oh aku sungguh tidak bisa mengerti apa yang ada dikepala seseorang yang mengaku bersahabat dengan mantannya tanpa melibatkan perasaan.

Mungkin aku terlalu naif, katakan saja bahwa salah satu dari kamu yang membaca postingan ini malah mampu bersahabat dengan semua mantanmu sementara kamu punya pacar dan oh yeah, thats nice, pacarmu tidak cemburu. Tetapi aku yakin, kasus itu hanya ada satu banding seribu lebih. Dan aku yakin, orang yang mampu menjalaninya adalah orang yang hatinya sekuat karang.

Aku sudah pernah berada disegala posisi yang berkaitan dengan mantan.
Aku pernah mencemburui mantannya kekasihku.
Aku juga pernah ingin kembali dekat dengan mantanku sebagai seorang sahabat. Tetapi aku mundur untuk hal itu. Aku tau, aku tidak akan bisa menguasai keadaan di masa depan jika aku kembali memasukkan mantan didalam hidupku.

Aku bisa berteman dengan mantanku, tentu saja aku mampu. Tidak ada yang susah menjadi seorang teman dari mantanmu yang kamu tau sifatnya.
Tetapi bagaimana dengan sahabat?

Aku akan membatasi arti sahabat. Menurut paradigmaku, sahabat adalah orang yang tau kamu luar dalam, orang yang bisa kamu ceritakan segala masalahmu tanpa kamu tutup-tutupi. Sahabat adalah tempat segudang rahasiamu. Menemanimu berbagi suka dan duka. Sahabat itu punya jalinan kasat mata. Dia tau apa yang tidak orang tau tentang perasaan dan pikiranmu disaat-saat tertentu.

Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa bersahabat dengan orang yang dulunya pernah kamu cintai? Apakah kamu bisa menjamin perasaanmu tidak akan kembali saat kamu nyaman sekali curhat dengannya? Apa kamu bisa menjamin kalian tidak akan menggali masa lalu, sadar ataupun tidak sadar? Apa kamu bisa sekuat itu.

Oke, posisikan kalian sama-sama sendiri. Bersahabat mungkin tidak masalah. Kalau kalian merasa masih ada cinta, kalian bisa bersama lagi. Atau misalkan pacaran kalian dulu hanya dalam jangka pendek atau kalian berpacaran, lalu memutuskan bersama bahwa kalian tidak cocok, tidak ada cinta yang harus diperjuangkan.

Mungkin itu lebih mudah, u know, mengganti peran dia dari mantan menjadi teman, bahkan sahabat. Bagaimanapun, mantanmu adalah salah satu orang yang -paling tidak, pernah- begitu mengenal kamu.

Aku selalu meyakinkan pada diriku maupun orang terdekatku bahwa tidak ada gunanya membenci seorang mantan, karena dia pernah begitu berharga. Menjadi seorang teman adalah bentuk penghargaan darimu karena kalian pernah melalui hari bersama.

Tetapi apa jadinya jika kamu membiarkan mantanmu berperan sebagai sahabat, sementara kalian menjalin hubungan dengan orang lain? Apa kamu tidak pernah membayangkan, betapa risihnya punya pacar yang masih "bersahabat" dengan mantannya?!

Apalagi kalau kalian sependapat denganku, pacar adalah sahabat beda jenis kelamin.
Lalu, apa gunanya pacar kalau kalian masih mencari sahabat yang berbeda jenis kelaminnya?
Dan untuk apa kamu curhat tentang bertengkarnya kamu dengan pacarmu pada sahabatmu?
Untuk membantu kamu mengerti sudut pandang pasanganmu sebagai seorang laki-laki/perempuan?
Untuk membantumu menganalisa duduk permasalahannya?
Kenapa kamu tidak cerita dengan sesama sahabatmu saja - yang notabene bukan mantanmu? Atau mungkin sahabatmu yang berbeda jenis kelamin namun tidak punya sejarah percintaan denganmu!

Ah, taukah kamu bahwa sangat sakit menghadapi kenyataan dimana dia memilih "ngadu" tentang pertengkaran kalian kepada mantanmu?!

Disana kalian akan berbagi, awalnya dia mendengar dan kamu berkeluh kesah. Kemudian dia akan menjelaskan duduk permasalahannya. Kamu akan menganggap "dewasa" betul mantanmu ini. Baik betul dia meluangkan waktu untukmu. Seketika, tanpa kamu sadari, kamu akan mengenang saat-saat lampau.
Kamu akan berpikir, dulu, kenapa dia tidak seperti ini? Dulu, kamu begini. Dulu dan dulu yang lain.
Malah dibeberapa kondisi, kalian akan melontarkannya langsung.
Apakah itu tidak terlalu berisiko?

Tentu saja kamu akan memandang dia hebat karena mampu memberimu jalan keluar dari pertengkaranmu, karena bukan dia pacarmu. Kamu tau, orang lebih mudah menilai seseorang jika dia tidak berada dilingkaran kamu.

Seperti sebuah ilustrasi, dimana kamu pergi kesebuah ruang, disitu bau sekali. Saat pertama masuk, kamu tidak akan tahan. Tetapi setelah beberapa lama, kamu akan terbiasa. Kamu tidak bisa lagi mengatakan ruang itu bau. Nah, kemudian kamu keluar dari ruangan itu. Kembali mendapat oksigen bersih. Apa yang kamu rasa? Kamu bisa membedakan baunya.

Itu sama seperti kalimatku sebelum ilustrasi. Mantanmu dapat menjadi sahabat yang handal, karena dia pernah berada -mungkin saja- disituasi pertengkaranmu dengan pacarmu dan violaa, tentu saja dia mudah menebak apa yang harus kamu lakukan.

Kemudian kamu akan memuji, terkejut pada kedewasaan yang dia lakukan. Sekali lagi aku katakan, mudah saja dia memberi nasihat cemerlang. Dia tidak sedang ber ada diposisi itu!

Apa gunanya membuat pacarmu kawatir dengan kemungkinan kamu yang bisa jatuh cinta lagi kepada mantanmu.
Kamu tidak bisa menyalahkan dia. Kamu dan mantanmu tentu punya segudang rahasia masa lalu dan dengan kalian dekat, bukan tidak mungkin kalian berkesempatan mengenangnya.

Jadi kamu bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Bahwa kamu sangat mencintai kekasihmu dan mantanmu bukan saingan dia? Lalu, kalau memang dia tidak sebegitu berharganya, kenapa kamu membiarkan pacarmu meluangkan waktu untuk cemburu maupun kesal dengan mantanmu? Kenapa kamu rela mengorbankan hubungan kalian demi seorang sahabat dari masa lalumu?!

Kenapa kamu tidak meyakinkannya dengan meninggalkan mantanmu.

Hei Pacar, bukanlah sebuah sikap menuduh, tidak percaya dan cari-cari alasan jika mantanmu memprotes kedekatanmu denagn mantanmu. Kamu mungkin bisa menjaga hatimu, tetapi apa kamu bisa memastikan bahwa tidak ada lagi perasaan cinta yang dibawa mantanmu kedalam persahabatn kalian? Kamu tidak bisa memaksa perasaan seseorang. Yang kamu dapat lakukan adalah menjaga perasaanmu dan hubunganmu.

Kalau semisalnya kamu tidak pernah berhubungan dengan mantamu dan pacarmu malah cemburu, itulah yang tidak baik. Tetapi kalau kamu menunjukkan bahwa kamu masih dekat dengan mantanmu, katakanlah sahabatan, dan si dia kesal, mungkin sudah saatnya kamu mencoba berada diposisi pacarmu.

Dan, inilah yang harus aku katakan pada sang mantan.

Oh aku tau kamu tidak punya rasa lagi sama dia, kamu sudah move on, sudah mampu melupakan dia. Lalu kenapa kamu mau mempertaruhkan nama baikmu hanya untuk menjadi sahabat mantanmu?

Aku pernah berada diposisi dimana aku mengganggu kehidupan mantanku. Aku merasa tidak bersalah waktu itu. Aku menghubungi dia dan baru tahu kenyataan bahwa dia sudah memiliki perempuan lain disampingnya. Apa kamu mundur? Hell no, aku pernah hampir saja merusak harga diriku. Aku bertahan setidaknya dua minggu untuk mendapatkan kembali kekasihku itu. Tetapi kemudian aku berpikir, kenapa aku begitu egois?
Masa ku sudah lewat, sekarang saatnya dia bersama kekasihnya yang baru. Kalau memang dia mencintaiku, dia tidak akan pernah menggantikan posisiku.
Aku membayangkan betapa kesalnya berada diposisi kekasih yang mantan dari pacarnya terus mengganggu. Itu Menjengkelkan -dengan M Kapital-.

Aku harus menghormati pilihan mantanku, aku harus menghormati kekasihnya, terlebih aku harus menghormati diriku sendiri.
Jadi disitu aku memutuskan berhenti merusak hari-harinya. Agar aku mampu mengembalikan harga diriku dan memperlihatkan aku sesungguhnya sebagai orang yang fair.

Lalu aku juga pernah punya mantan yang mati-matian mengajakku berada diposisi sebagai sahabat. Dia akan sukarela menceritakan pengalamannya dan rasa kesalnya dengan kelakuan sipacar.
Aku menutup telinga, pun jalan untuk dia masuk. Aku tidak mau mendengar dan menghiraukannya.
Itu urusan dia dan pacarnya, jika dia punya masalah, mending dia langsung berbicara dengan pacarnya atau sahabat-sahabatnya.
Aku tidak punya waktu untuk sesi curhat simantan yang bisa jadi berakhir dicerita sipacar mencak-mencak melihatku.
Aih, aku tidak serendah itu.

Aku mau jadi teman, tetapi bukan sahabat mantanku. Itu harga mati.

Aku juga harus menghargai perasaan pacarku, terlebih perasaan pacarnya.

Tidak apa-apa kamu menyesali kenapa kalian tidak jadi sahabat, karena mantanmu ini orang yang menyenangkan, humoris, ganteng, bla, bla, bla.
Masalahnya, pacar mana yang suka kekasihnya bersahabat dengan mantannya? Guess what, i bet u, u will say: oh damn, u are right astrid!

Teman, puaslah untuk menjadi temannya. Jangan mau jadi sahabatnya. Dengan begitu kamu menyelamatkan perasaan banyak orang, paling ga, perasaan kekasih barunya (bahkan kekasih barumu).
Kamu pasti tidak ingin dianggap perusak, walau sebetulnya tidak. Jangan kasih kesempatan orang tersakiti.

Aku tau, bisa jadi kalian tidak bermaksud jahat, tetapi bijaksanalah... Jangan egois, hanya memikirkan perasaanmu dan penilaianmu.

Seorang pacar pantas untuk cemburu pada mantan kekasihnya yang masih berhubungan dengan kekasihnya.
Dan, seorang mantan pantas untuk menjaga jarak dan belajar untuk menganalisis pendapat orang lain... Jadilah dewasa, teman..

Hidup itu pilihan, kamu tidak bisa memiliki semuanya. Kamu harus memilih.

Terima kasih.

*mohon maaf jika content ini menyinggung satu pihak atau terlalu keras. Saya hanya mengutarakan pendapat saya dan pandangan saya tentang persahabatan mantan ini. Kalian boleh tidak setuju atau setuju dengan cerita diatas. Saya tidak akan memaksa. Karena saya tau, kehidupan, penerimaan dan pendapat orang itu berbeda-beda. Saya hargai itu*