Melanjutkan hidup setelah kehilangan seseorang itu tidak
mudah.
Apalagi ya, jika makhluk hidup itu sudah ada di angan-angan masa depanmu.
Aku yakin, banyak dari kita yang ingin berhenti bernapas saat itu juga.
Terkesan lebai jika bukan kamu sendiri yang mengalaminya.
Berlebihan katamu?
Iya, karena kamu tidak merasakannya.
Ah, kamu pernah merasakannya? Yeah, pernah kan berarti sudah berlalu.
Kata seorang teman, perpisahan itu memang diciptakan satu saat kamu jadian sama
seseorang. Jadi, sebaiknya siapkan plan B agar perpisahan bisa segera di daur
ulang. Bagaimana caranya? Entahlah, aku bukan mau membahas itu disini :p
Nah, yang paling kasihan dari orang yang sedang mengalami efek negatif dari cinta
itu adalah saat harus memilih move on-kah atau berjuang mendapatkannya kembali.
Beberapa kasus ada perasaan lega yang terselip ditengah tangis saat semua
terjadi, apalagi jika dulunya hobi kalian itu bertengkar. Kayak sedikit tiupan
dingin AC ditengah panasnya terik.
Itu di saat tangis sedang deras-derasnya dan ingus udah terjun bebas dari
hidung, dihati terdalam kita tahu memang ini baiknya.
Tapi, siapa sih orang hebat yang bisa begitu cepat bangkit saat perpisahan baru
bermenit-menit yang lalu? Lain halnya jika memang perpisahan itu sudah
direncanakan jauh-jauh hari.
Lalu, apa jadinya saat perpisahan itu bagai bencana? Ga dikira-kira tiba-tiba
kamu berada diposisi duduk dilantai termenung, antara bingung dan ga percaya
semua terjadi sedangkan dia melenggang bebas diluar sana, udah mulai
mempraktekkan tips dan trik dari buku untuk menggaet pasangan baru. Sadis.
Itu menyakitkan dengan segala mood buruk bercampur didalamnya. Mau teriak
memaki, orangnya udah pergi. Mau nangis mulu kok ya capek juga. Mau diam aja
rasanya ga tahan, mau tertawa juga ga bisa.
Semua serba salah. Makan salah, ga makan salah, tidur ga enak, ga tidur juga
susah. kayak tingkah laku jatuh cinta tapi ini dari sisi negatifnya. Semua
serba ingat dia.
Cara mengatasinya lebih susah lagi. Nangis sepanjang hari, dia toh ga akan
kembali. Mau dilupakan, kok ya ga rela.
Rasanya tuh kayak hidup sudah berhenti. Ga ada semangat mau ngapain-ngapain.
Lebih susah lagi kalau tadinya dia baiiik banget, lucuuu banget, cakeeep
banget, pinteeer banget, perhatiaaan banget, sabaaar banget, pokoknya semuamua
yang indaaah banget deh (tunggu, lalu kenapa kalian putus? Oh yah, oke).
Makanya cari pacar yang jahat, biar pas pisah, ga susah lupainnya *eh, bego!!!*
Anehnya, pas pisah, semua kenangan indah ter-reply lagi. Padahal yah kamu tuh
orangnya suka lupa apapun, malah kadang saking pelupanya, kamu suka lupa pulang
ke rumah. Tapi entah mengapa saat itu kamu jadi si genius yang mudah mengingat
kejadian-kejadian saat bersama, yang lucunya, kejadian itu pasti yang enak-enak
aja. Jarang tuh mengingat pas dia jadi jahat, pas dia bohong, pas dia
menyakiti, pas dia lebih memilih jalan santai saat kamu membawa semua kantong
belanjaan plus tas ditangan kanan dan kiri, apalagi alasan kalian meski
berpisah.
Cinta itu aneh, begitu juga dengan perpisahan.
Nah, perbedaan dalam menyikapi perpisahan di tiap orang juga berbeda. Ada yang
terkesan keren, unik, bahkan menjijikkan. Semuanya bisa jadi dikemudian hari
akan diingat sebagai kisah yang manis -bisa jadi loh, tapi aku ga yakin juga
sih dengan kalian- :p
Apalagi soal laki-laki dan perempuan. Aku bukannya sedang menguliti masalah
gender loh. Yang pasti, entah karena memang kodrat atau kebiasaan, dua jenis
makhluk hidup ini menyikapi perpisahan dengan cara berbeda.
Laki-laki biasanya menanggapi dengan bijak dalam tanpa kutip. Ga pakai acara
nangis-nangis sampe ingus kemana-mana, ga sampe curhat sana sini minta
diperhatikan (walaupun mungkin ada beberapa laki-laki yang melakukannya
didunia ini), mengurung diri dikamar sampe berhari-hari, menarik diri dari
kehidupan sosial, sampai akhirnya terpaksa keluar dengan mata bengkak.
Mereka akan mencari pelarian, contohnya menyibukkan diri dengan kerjaan, main
sana sini dengan teman-teman lelakinya. Yeah, ada beberapa yang malah
minum-minum, tapi aku tekankan sekali lagi, tanpa ingus yang bertebaran
diwajahnya (ini kenapa semakin menjijikkan yah?!) - kecuali, well, kalau dia
mabuk. Emm, apa yang bisa dikendalikan saat anda mabuk?!
Teman-teman sesama itu biasanya tidak melewati fase menghapus air mata si
laki-laki (euih), memeluknya lembut (jiaaah), lalu tersenyum sambil berkata
"tenang, teman, semua akan baik-baik saja".
Biasanya mereka malah akan menepuk punggung si pemeran utama sambil berkata
"Halah, perempuan mah ga cuma dia aja kalee", sambil tidak lupa
mengajaknya melakukan hobi-hobi mereka. Bukan, aku tidak berbicara soal hobi
belanja, tetapi soal otomotif, olah raga, film dan, dan apa lah itu.
Perempuan, ah, perempuan lain lagi. Entah ini harus disyukuri atau malah
merepotkan, saat terluka sangat dalam, perempuan lebih memilih menelepon genk
cantiknya dan melakukan konferensi kecil-kecilan. Perempuan sangat mengandalkan
sahabat-sahabatnya dan dengan senang hati sahabat akan merentangkan tangan.
Mereka akan datang dengan mata sembab, wajah tersakiti, rambut acak-acakan,
hidung memerah plus tidak lupa membawa tissue yang sudah menipis karena
digunakan untuk menghapus -maaf- ingus yang kemana-mana.
Lalu dengan suara tercekat, dikelilingi para sahabat dan mulailah dongeng itu:
"aku ga tau blablabla", "ini nyakitin banget blablabla",
"aku ga nyangka dia blablabla".
Biasanya yang akan dilakukan teman-teman si cantik ini adalah memeluk lembut,
menghapus air matanya, sambil tetap memastikan persediaan tissue bersih. Ah,
tidak lupa juga wejangan dari orang yang belum tentu berpengalaman. Ingat,
perempuan sangat suka berbagi cerita dan -ehem- berceloteh.
Teman yang baik untuk perempuan yang sedang patah hati adalah si pendengar yang
sabar dan si baik hati yang punya ide cemerlang yakni mengatasi rasa sakit
dengan belanja-belenji. Soal belanja, memang itu adalah cara keren dideretan
pertama untuk mengusir kesakitan apapun dihatimu, kawan. Sorry, intermezzo.
Nah, ada beberapa kasus, entah dia laki-laki atau perempuan, yang menikmati
perpisahan dengan cara yang kalem. Nangis seperlunya, marah seperlunya, curhat
seperlunya, dan kemudian berusaha bangkit lagi (kadang dengan seperlunya juga
sih).
Ini biasanya terjadi untuk orang yang sudah lelah menjalaninya. Jadi saat
perpisahan terjadi, pasrah itu hal mutlak bagi mereka.
Ada juga orang yang menyikapinya tertutup. Diam-diam nangis, diam-diam terluka,
lalu hilang aja gitu dianya, entah kemana.
Dipihak lain, ada juga yang dengan senang hati menjadi pembicara di acara
bertema patah hati, menikmati rasa sakit dengan tawa dan kemudian menggandeng
pasangan lain. Semoga tidak ada perpisahan berikutnya.
Lalu bagaimana aku mengatasi perpisahan? Aih, aih, haha, haha, lucu kamu nanya
ini. Mungkin, emmmm, mungkin aku perpaduan akan dua makhluk itu. Mungkin, loh yah. Haha.
Jakarta, 7 Juli 2012